Sejarah Utang Luar Negeri

SUDUT EKONOMI | Sejarah utang luar negeri Indonesia dimulai dari kebiasaan berutang pemerintah kolonial Hindia Belanda bagi pemerintahan di Indonesia. Seluruh utang yang belum dilunasinya pun turut diwariskan, sesuai dengan salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada waktu itu disertai dengan pengalihan tanggung jawab segala utang pemerintah kolonial. Tradisi pengalihan utang kepada pemerintahan berikutnya bertahan sampai saat ini, terlepas dari perpindahan kekuasaan itu berlangsung dengan cara apa pun.

Utang pemerintah orde lama Sesuai dengan perjanjian ketika penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia, pemerintahan Soekarno menerima pula warisan utang pemerintah kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar Amerika. Utang tersebut memang tidak pernah dibayar oleh Pemerintahan Soekarno, namun juga tidak dinyatakan di¬hapuskan. Utang ini nantinya diwariskan kepada era-era pemerintahan berikutnya, dan akhirnya dilunasi juga.

Pada awal kemerdekaan, sikap pemerintah Soekarno-Hatta terhadap utang luar negeri bisa dikatakan mendua. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan sangat dibutuhkan. Negara baru yang baru merdeka ini memerlukan dana untuk memperbaiki taraf kesejahteraan rakyat, yang sudah sedemikian terpuruk karena kolonialisme. Disisi lain, pemerintah Soekarno-Hatta bersikap waspada terhadap kemungkinan penggunaan utang luar negeri sebagai sarana kembalinya kolonialisme, meski demikian transaksi utang luar negeri tetap terjadi pada awal kemerdekaan. 

Sampai dengan tahun 1950, utang pemerintah yang baru tercatat sebesar USD 3,8 miliar, selain utang warisan pemerintah kolonial. Setelah itu, terjadi fluktuasi jumlah utang pemerintah, seiring dengan sikap pemerintah yang cukup sering berubah terhadap pihak asing dalam soal modal dan utang. Selama kurun tahun 50-an tetap saja ada bantuan dan utang yang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah yang berubah-ubah itu dikarenakan kerapnya pergantian kabinet, disamping faktor Soekarno sebagai pribadi.

Sebagai contoh, pada tahun 1962, delegasi IMF berkunjung ke Indonesia untuk menawarkan proposal bantuan finansial dan kerjasama, dan pada tahun 1963 utang sebesar USD17 juta diberikan oleh Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia pun kemudian bersedia melaksanakan beberapa kebijakan ekonomi baru yang bersesuaian dengan proposal IMF. Secara teknis ekonomi, telah ada pelunasan utang dari sebagian hasil ekspor komoditi primer Indonesia. Ada pula penghapusan se¬bagian utang oleh kreditur, terutama dari negara-negara yang ber¬sahabat, setidaknya dalam tahun-tahun tertentu. Akhirnya, ketika terjadi perpindahan kekuasaan kepada Soeharto, tercatat utang luar negeri pemerintah adalah sebesar USD 2,1 miliar. Jumlah ini belum termasuk utang warisan pemerintah kolonial Belanda yang sekalipun resmi diakui, tidak pernah dibayar oleh pemerintahan Soekarno.

Perkembangan utang pemerintah era Soeharto sejak awal menunjukkan sikap pemerintahan Soeharto terhadap modal asing yang memang berbeda dengan sikap Soekarno-Hatta. Sebagai contoh, undang¬undang pertama yang ditandatangani Soeharto adalah UU no.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang isinya bersifat terbuka dan bersahabat bagi masuknya modal dari negara manapun. Beberapa bulan sebelumnya, IMF membuat studi tentang program stabilitas ekonomi, yang rekomendasinya segera diikuti oleh pemerintah. Indonesia juga telah secara resmi kembali menjadi anggota IMF.

Seiring dengan itu, perundingan serius mengenai utang luar negeri Indonesia berlangsung lancar. Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF dan Bank Dunia, seketika diimbali oleh negara-negara barat berupa: pemberian hibah, restrukturisasi utang lama, komitmen utang baru dan pencairan utang baru yang cepat. Lewat berbagai perundingan, terutama pertemuan Paris Club, disepakati moratorium utang sampai dengan tahun 1971 untuk pembayaran cicilan pokok sebagian besar utang. 

Akhirnya, sejak tahun 1967 Indonesia mendapat persetujuan utang baru dari banyak kreditur, dan sebagiannya langsung dicairkan pada tahun itu juga. Pada saat pemerintahan Soeharto mulai menerima ULN dan satu dekade setelahnya, perkembangan wacana keuangan internasional memang sedang kondusif. Selain yang dinyatakan sebagai dimensi kemanusiaan atau charity, serta keterkaitan dengan masalah pe-rebutan pengaruh politik Blok Barat dan Blok Komunis, konsep dan praktik keuangan internasional memang tengah marak me¬ngembangkan berbagai bentuk ULN. Ada dua pemicu utama dari sisi wacana keuangan dan perekonomian. Pertama, upaya banyak negara maju untuk merestukturisasi sekaligus mengembangkan industri pengolahannya, yang berlangsung mulai era 1960-an. Ada pertimbangan suplai sumber energi, bahan baku, pemindahan se¬bagian tahap produksi, sampai kepada penetrasi pasar.

Kedua, mulai ada kelebihan likuiditas pada lembaga keuangan internasional, yang kemudian mendapat momentum lanjutan dari petro dollar akibat kenaikan harga minyak sejak awal 70-an. Selain disimpan pada bank dan lembaga keuangan komersial, dana petro dollar dari negara-negara produsen minyak ini juga bisa diakses oleh IMF. Sebagaimana telah disinggung di atas, sejak tahun 1967 Indonesia telah menerima pinjaman dengan syarat lunak atau dalam bentuk sumbangan (grant) dari negara-negara dan lembaga-lembaga ke¬uangan iternasional yang tergabung dalam IGGI. Dalam beberapa tahun sejak
itu, Indonesia mendapat pinjaman berbentuk bantuan program yang terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan pangan, serta bantuan proyek dengan syaratsyarat pelunasan yang lunak.

Utang Pemerintahan Transisi (Habibie) Tanggal 14 dan 15 Mei 1997, kurs bath terhadap US$ mengalami penurunan (depresiasi) sebagai akibat dari keputusan jual dari para investor yang tidak percaya lagi terhadap prospek ekonomi Thailand dalam jangka pendek. Pemerintah Thailand mengintervensi dan didukung oleh bank sentral singapora, tapi tidak mampu menstabilkan kurs Bath, sehingga bank sentral Thailand mengumumkan kurs bath diserahkan pada mekanisme pasar. 2 Juli 1997, penurunan nilai kurs bath terhadap US$ antara 15% - 20% Bulan Juli 1997, krisis melanda Indonesia (kurs dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.650.) BI mengintervensi, namun tidak mampu sampai bulan maret 1998 kurs melemah sampai Rp.10.550 dan bahkan menembus angka Rp 11.000/US$.

Langkah konkrit untuk mengatasi krisis:
  • Penundaan proyek Rp 39 trilyun untuk mengimbangi keterbatasan anggaran Negara.
  • BI melakukan intervensi ke bursa valas.
  • Meminta bantuan IMF dengan memperoleh paket bantuan keuangan US$ 23 Milyar pada bulan Nopember 1997.
  • Mencabut ijin usaha 16 bank swasta yang tidak sehat Januari 1998 pemerintah Indonesia menandatangani nota kesepakatan (LOI) dengan IMF yang mencakup 50 butir kebijakan yang mencakup: Kebijakan ekonomi makro (fiscal dan moneter) mencakup: penggunaan prinsip anggaran berimbang; pengurangan pengeluaran pemerintah seperti pengurangan subsidi BBM dan listrik; pembatalan proyek besar; dan peningkatan pendapatan pemerintah dengan mencabut semua fasilitas perpajakan, penangguhan PPN, pengenaan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN, dan memperbanyak obyek pajak.
  • Restrukturisasi sektor keuangan.
  • Reformasi struktural

Bantuan gagal diberikan, karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan kesepakatan dengan IMF yang telah ditandatangani. Indonesia tidak mempunyai pilihan kecuali harus bekerja sama dengan IMF. Kesepakatan baru dicapai bulan April 1998 dengan nama “Memorandum Tambahan mengenai Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan” yang merupakan kelanjutan, pelengkapan dan modifikasi 50 butir kesepakatan. Tambahan dalam kesepakatan baru ini mencakup: 
  1. Program stabilisasi perbankan untuk stabilisasi pasar uang dan mencegah hiperinflasi
  2. Restrukturisasi perbankan untuk penyehatan system perbankan nasional
  3. Reformasi structural
  4. Penyelesaian utang luar negeri dari pihak swasta
  5. Bantuan untuk masyarakat ekonomi lemah.

Utang Pemerintahan Reformasi (Abdurrahman Wahid) Mulai pertengahan tahun 1999.
  • Pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi positif (mendekati 0)
  • Tahun 2000 pertumbuhan ekonomi 5%
  • Kondisi moneter stabil ( inflasi dan suku bunga rendah)
  • Tahun 2001, pelaku bisnis dan masyarakat kurang percaya kepada pemerintahan sebagai akibat dari pernyataan presiden yang controversial, KKN, dictator, dan perseteruan dengan DPR.
  • Bulan maret 2000, cadangan devisa menurun dari US$ 29 milyar menjadi US$ 28,875 milyar
  • Hubungan dengan IMF menjadi tidak baik sebagai akibat dari: penundaan pelaksanaan amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah (terutama kebebasan untuk hutang pemerintah daerah dari LN); dan revisi APBN 2001.
  • Tahun 2001, pertumbuhan ekonomi cenderung negative, IHSG merosot lebih dari 300 poin, dan nilai tukar rupiah melemah dari Rp 7000 menjadi Rp.10.000.

Utang Pada Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri Beberapa kebijakan perekonomian yang diambil di masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri ialah ;
  1. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3triliun.
  2. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.

Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi.

Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.

Utang pada masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. 

Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel