Sharia Enterprise Theory ( SET )
Kamis, 01 Februari 2018
SUDUT EKONOMI | Sharia Enterprise Theory menurut Triyuwono (2007) adalah teori yang menempatkan Tuhan sebagai pusat dari segala sesuatu. Tuhan menjadi pusat tempat kembalinya manusia dan alam semesta. Manusia di sini hanya sebagai wakilNya (khalitullah fil ardh) yang memiliki konsekuensi patuh terhadap semua hukum-hukum Tuhan. Kepatuhan manusia semata-mata dalam rangka kembali kepada Tuhan dengan jiwa yang tenang. Proses kembali ke Tuhan memerlukan proses penyatuan diri dengan sesama manusia dan alam sekaligus dengan hukum-hukum yang melekat di dalamnya (Farisi, 2015).
Allah adalah pihak dengan posisi yang paling tinggi dan menjadi satu-satunya tujuan akhir bagi kehidupan manusia, dengan menempatkan Allah sebagai stakeholder tertinggi, maka akan terbentuk tali penghubung antara akuntansi syariah dengan sistem perekonomian. Sehingga sistem perekonomian tetap bertujuan pada “membangkitkan kesadaran ketuhanan” para penggunanya, dengan adanya hal tersebut maka diharapkan tidak adanya tindakan yang dapat merugikan diri sendiri ataupun orang lain karena kepatuhannya terhadap perintah-perintah Tuhan.
Fungsi menetapkan Allah sebagai stakeholder tertinggi adalah digunakannya sunnatullah sebagai basis bagi konstruksi akuntansi syariah. Sunnatullah dalam akuntansi syariah dapat diartikan bahwasannya sistem akuntansi hanya dibangun dan dijalankan sesuai dengan aturan atau hukum-hukum Allah.
Stakeholder kedua dari SET adalah manusia yang dibedakan dalam dua kelompok, yaitu direct-stakeholders dan indirect-stakeholders. Directstakeholders adalah pihak-pihak yang secara langsung memberikan kontribusi pada perusahaan, baik dalam bentuk kontribusi keuangan (financial contribution) maupun non-keuangan (nonfinancial contribution), karena mereka telah memberikan kontribusi kepada perusahaan, maka mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kesejahteraan dari perusahaan.
Sementara, yang dimaksud dengan indirect-stakeholders adalah pihak-pihak yang tidak memberikan kontribusi kepada perusahaan (baik secara keuangan maupun non-keuangan), tetapi secara syariah mereka adalah pihak yang memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan dari perusahaan (Triyuwono, 2007). Direct-stakeholders dan indirect-stakeholders adalah pihak-pihak yang memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan dari perusahaan atau minimal tidak menerima kerugian dari keberadaan suatu perusahaan.
Golongan stakeholder terakhir dari SET adalah alam. Alam adalah pihak yang memberikan kontribusi bagi mati-hidupnya perusahaan sebagaimana pihak Allah dan manusia. Perusahaan eksis secara fisik karena didirikan di atas bumi, menggunakan energi yang tersebar di alam, memproduksi dengan menggunakan bahan baku dari alam, memberikan jasa kepada pihak lain dengan menggunakan energi yang tersedia di alam, dan lain-lainnya, namun demikian, alam tidak menghendaki distribusi kesejahteraan dari perusahaan dalam bentuk uang sebagaimana yang diinginkan manusia. Wujud distribusi kesejahteraan berupa kepedulian perusahaan terhadap kelestarian alam, pencegahan pencemaran, dan lain-lainnya (Triyuwono, 2007).
Jadi, dalam Shariah Enterprise Theory, Allah adalah pemberi amanah utama, sedangkan sumber daya yang dimiliki oleh para stakeholders adalah amanah dari Allah yang di dalamnya melekat sebuah tanggung jawab untuk digunakan dengan cara dan tujuan yang ditetapkan oleh Sang Maha Pemberi Amanah.
Enterprise Theory lebih tepat bagi suatu sistem ekonomi yang mendasarkan diri pada nilai-nilai syariah. Hal ini sebagaimana dinyatakan Triyuwono bahwa “diversifikasi kekuasaan ekonomi ini dalam konsep syariah sangat direkomendasikan, mengingat syariah melarang beredarnya kekayaan hanya di kalangan tertentu saja,” dengan kata lain harta yang dimiliki tidak boleh ditimbun tetapi sebaiknya digunakan dan dimanfaatkan. Hal ini dengan tujuan dapat menghindarkan terjadinya kesenjangan sosial pada masyartakat, atau terjadinya pemerataan kesejahteraan dalam kehidupan ekonomi maupun sosial (Farisi, 2015).