Penyebab Utang Luar Negeri
Sabtu, 18 Februari 2017
SUDUT EKONOMI | Hasrat berhutang dan debt trap. Berikut adalah beberapa fakta yang menguatkan jebakan hutang tersebut. Pertama, Pada saat Indonesia meminta bantuan kepada IMF untuk menghadapi krisis pada 1997, lembaga tersebut memaksakan kehendaknya untuk mengintervensi semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam letter of intent (LoI) terdapat 1.243 tindakan yang harus dilaksanakan pemerintah Indonesia dalam berbagai bidang seperti perbankan, desentralisasi, lingkungan, fiskal, kebijakan moneter dan Bank Sentral, privatisasi BUMN serta jaring pengaman sosial. Dengan kata lain, keuangan negara sengaja dibuat bangkrut terlebih dahulu, dan melalui ketergantungan dalam bidang keuangan ini, Indonesia telah sepenuhnya dikendalikan oleh negara pemberi hutang dan lembaga keuangan internasional.
Kedua, tudingan bahwa lembaga seperti IMF dan Bank Dunia diboncengi kepentingan perusahaan-perusahaan dari negara-negara kreditor bukanlah isapan jempol belaka. Hal tersebut juga diakui oleh pemerintah AS. Selama kurun tahun 1980-an hingga awal 1990-an saja, IMF sudah menerapkan program penyesuaian struktural di lebih dari 70 negara berkembang yang mengalami krisis finansial.
Setiap tahun, Bank Dunia juga memberikan sekitar 40.000 kontrak kepada perusahaan swasta. Sebagian besar kontrak ini jatuh ke perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju. Jadi sangat jelas bahwa negara-negara pendonor sangat berkepentingan untuk memberikan negara-negara berkembang untuk berhutang. Departemen Keuangan AS mengaku, untuk setiap dollar AS yang dikontribusikan AS ke lembaga-lembaga multilateral, perusahaan-perusahaan AS menerima lebih dari dua kali lipat jumlah itu dari kontrak-kontrak pengadaan untuk program-program atau proyek proyek yang dibiayai dengan pinjaman lembaga-lembaga tersebut.
Hal tersebut tidak hanya terjadi pada pinjaman multilateral. Pinjaman bilateral seperti dari Jepang pun biasanya diikuti persyaratan sangat ketat yang menyangkut penggunaan komponen, barang, jasa (termasuk konsultan), dan kontraktor pelaksana untuk pelaksanaan proyek harus berasal dari Jepang. Melalui modus tersebut, Pemerintah Jepang selain bisa merecycle ekses dana yang ada di dalam negerinya, juga sekaligus bisa menggerakkan perusahaan dalam negerinya yang lesu lewat pengerjaan proyekproyek yang dibiayai dengan dana hutang ini.
Dari pinjaman yang digelontorkan tersebut, dana yang mengalir kembali ke Jepang dan negara-negara maju lain sebagai kreditor jauh lebih besar ketimbang yang dikucurkan ke Indonesia sebagai pengutang. Dapat dikatakan bahwa Indonesia sebagai negara debitor justru mensubbsidi negara-negara kaya yang menjadi kreditornya.
Ketiga, hutang dianggap sebagai biang dari kerusakan lingkungan yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang khususnya negara kreditor. Perbandingan antara DSR (Debt Service Ratio) dan laju deforestasi beberapa negara kreditor besar memperlihatkan trend yang semakin meningkat. (Susan George, 1992 dalam Rachbini, 1994)